Saturday, March 22, 2014

SEMBARANG


Budi adalah seorang anak tunggal yang kedua orang tuanya bekerja. Oleh karena itu, Budi sering sendirian di rumah sepulang sekolah.
Karena tidak mempunyai pembantu rumah tangga, setiap orang di rumah memiliki tugas domestiknya masing-masing. Tugas Budi adalah membuang sampah sebelum petugas sampah datang setiap hari pada pukul empat sore.
Pada suatu Senin sore, karena keasyikan menonton kartun di tv, Budi terlambat membuang sampah. Petugas sampah sudah terlanjur pergi dan baru akan datang lagi besok sore.
Budi menatap bundelan sampah dengan ngeri, dia tahu Ibu akan marah karenanya.
Lalu, entah mendapat ide dari mana, Budi seketika melempar sampah melewati tembok samping rumahnya.
Budi langsung merasa enteng, beban yang ditanggungnya hilang sekejap. Lagipula, di samping tembok itu hanya ada kebun kosong, tidak akan ada yang merasa keberatan, begitu pikir Budi.
Setelah kejadian itu, Budi malah menjadikan ritual melempar-sampah-melewati-tembok-samping-rumah sebagai kebiasaan. Budi merasa, pilihan yang diambilnya jauh lebih mudah, dibandingkan mengikuti aturan sederhana yang sudah ditetapkan Ibu. Empat hari berturut-turut sudah Budi melakoni tingkah barunya.
Pada hari kelima, di siang hari ketika Budi hendak memutar kunci pintu rumah sepulangnya dari sekolah, dia mendengar suara riuh dari dalam rumah. Budi langsung mempercepat pergerakan tangannya, lalu segera membuka pintu lebar-lebar.
Budi butuh beberapa saat untuk benar-benar memahami apa yang sedang terjadi dalam rumahnya. Ruang tamu dipenuhi oleh sampah. Tapi bukan hanya itu, sampah-sampah itu bergerak dan berceloteh satu sama lain.
Budi ternganga melihat sebuah bungkus keripik kentang yang bergoler santai di sofa, sambil terus saja menggonta-ganti saluran tv yang dinyalakan dalam volume maksimal.
Budi merasa sesuatu menyodok pergelangan kakinya kuat-kuat, terdengar suara memanggil “Hei!!”
Budi melongok ke bawah, dilihatnya botol soda kosong sedang menyodok-nyodok pergelangan kakinya dengan spatula, “dimana pembuka kaleng?!” begitu tuntutnya.
“untuk apa?” Budi bertanya.
“Kami mau memaksa kerumunan kecoak bandel keluar dari Cici.” Jawab botol soda sambil terus menyodok.
“Cici?” Budi memindahkan posisi kakinya.
“Cici, si kaleng leci kalengan!” Botol soda menjawab dengan terkejut, seolah fakta kalau Budi tidak mengenal Cici adalah sebuah aib besar.
“Biasanya tergantung di rak di atas bak cuci piring.” Budi menunjuk sambil mengelak menghindari sodokan si botol soda.
Setelah satu sabetan keras telak mengenai pergelangan kaki Budi, botol soda langsung melesat menuju ruang makan.
Sambil melompat-lompat kesakitan, Budi melongok ke ruang makan, pandangannya jatuh ke atas meja. Di sana Budi melihat sebuah kaleng bergambar buah leci sedang tersedu-dua, kaleng itu sesekali bergemeresak, dia dikelilingi banyak botol dan kaleng bekas lain yang terlihat iba.
Budi lalu mengalihkan pandangannya ke lemari piring. Dilihatnya beberapa biji kelengkeng baru saja terjun ke bawah, sambil masing-masing menggenggam selembar tissue yang digunakan sebagai parasut. Mereka berayun-ayun perlahan sampai mendarat di lantai dengan mulus, lalu saling menggabrukkan diri setelahnya.    

Bingung luar biasa, Budi berjalan perlahan kembali ke ruang tamu. Dalam setiap langkahnya, Budi memperhatikan apa saja yang terjadi dalam rumah.
Budi melihat sebuah bohlam pecah yang sedikit hangus, sedang memutar bohlam yang terpasang di lampu meja di perpustakaan. Setelah bohlam meja perpustakaan terlepas, si bohlam hangus menjatuhkan begitu saja bohlam yang masih dalam kondisi bagus itu, hingga pecah berserakan di lantai. Si bohlam hangus lalu memutar dirinya di lampu meja yang sekarang menjadi singgasananya.
Di tengah-tengah karpet ruang tamu, kereta mainan milik Budi sedang berputar-putar cepat, di atasnya naik beberapa karton susu kosong. Di belakangnya, beberapa karton jus buah kosong berlari mengejar-ngejar, sambil berteriak “Gantian! Gantian!”
Budi menjatuhkan dirinya di sofa depan tv, dia belum sepenuhnya memutuskan apakah dirinya waras atau tidak.
Budi meraba-raba mencari remote untuk mengecilkan suara tv yang membahana, akan tetapi dia tidak bisa menemukannya di mana pun. Si bungkus keripik kentang pun tidak terlihat.
Tak lama kemudian, Budi mendengar bunyi benda yang diseret. Si bungkus keripik kentang ternyata sedang berjalan kembali menuju sofa, remote tv dikempitnya di kanan, sedangkan sebungkus keripik kentang baru diseretnya di kiri.
Si bungkus keripik kentang dengan mulus memanjat ke atas sofa, lalu kembali mengambil posisi santai di sana. Dia membuka bungkus keripik kentang baru, lalu mulai memindahkan isinya ke dalam bungkusnya sendiri, sambil ribut mengunyah-ngunyah.
Si bungkus keripik kentang mulai menggonta-ganti saluran tv lagi. “Apa acara tv yang bagus?” Tanyanya pada Budi.
Budi menyebutkan acara tv kesukaannya. Si bungkus keripik kentang langsung memindahkan saluran tv ke acara itu, lalu mulai menonton.
“Camilan?” Si bungkus keripik kentang menawarkan. Budi dan si bungkus keripik kentang akhirnya menonton bersama.
Ketika sedang asyik menonton, tiba-tiba tiga karton jus buah melompat ke pangkuan Budi, masing-masing memeluk satu karton jus buah dingin yang baru saja dikeluarkan dari kulkas.
“Jus buah?” Ujar ketiga karton jus bekas bersamaan.
“Kami harus memperbesar pasukan karton jus buah, kami kalah jumlah dengan pasukan karton susu!” Si karton jus yang tengah menjelaskan.
Budi dengan senang hati mengambil ketiga jus segar itu. Setelah selesai meminumnya, Budi melempar karton bekasnya begitu saja ke lantai.
Budi mulai berpikir, keadaan ini tidak terlalu buruk, terlihat cukup menyenangkan, sekarang aku tidak sendirian lagi sepulang sekolah! Budi membiarkan begitu saja sampah-sampah yang berkeliaran di sekitarnya.
Setelah acara tv favorit Budi selesai diputar, si bungkus keripik kentang bersiap menonton acara selanjutnya. Sedangkan bagi Budi, rasa kantuk mulai menyapanya. Saat itu sudah memasuki jam tidur siang.
Sembari menyapa gumpalan-gumpalan kertas yang berseluncur di pegangan tangga, Budi berjalan gontai menuju kamarnya.
Akan tetapi, rencana tidur siang ternyata harus menunggu, karena kasur Budi sudah dipenuhi kotak-kotak susu bekas yang berjejal-jejalan di bawah selimut. Para kotak jus ternyata berhasil membuat pasukan dalam jumlah besar, sehingga memaksa para kotak susu hengkang dari kereta mainan yang sempat mereka kuasai. Lalu, para kotak susu akhirnya memutuskan untuk istirahat, setelah lelah bertempur dengan gerombolan kotak jus.
Tidak seperti pasukan kotak jus, Budi tidak berhasil memaksa para kotak susu pergi dari kasurnya. Maka, Budi memutuskan untuk mandi supaya menghilangkan kantuknya.
Akan tetapi, kamar mandi ternyata telah dipenuhi botol-botol sampo dan sabun kosong yang tengah asik berendam buih busa sambil kecicikan dalam bath tub. Mereka menjerit histeris ketika Budi masuk ke kamar mandi, lalu menciprati Budi dengan air.
Basah kuyup, Budi mengangkat bahunya lalu keluar dari kamar mandi, dia menuju dapur untuk mengambil es krim, karena Budi selalu bisa menemukan solusi ketika sedang mengemil es krim. Akan tetapi, Budi harus kecewa karena sesampainya di dapur, dia menemukan kotak-kotak es krim tergeletak begitu saja di luar freezer, seluruh isinya meleleh. Begitu Budi membuka freezer, ternyata kotak-kotak es krim bekas sudah bersantai di sana, tidak menyisakan ruang sedikitpun untuk es krim baru.
Budi lalu mendengar suara dengkuran yang bersahut-sahutan di belakangnya. Ketika Budi menoleh, dilihatnya kulit pisang, jeruk dan durian sedang tidur nyenyak, sambil berdesak-desakkan, di atas piring bersih di meja makan.
Budi berpikir, mungkin sebaiknya aku menonton tv lagi bersama bungkus keripik kentang.
Budi lalu melangkahkan kakinya kembali ke ruang keluarga. Namun disana, Budi menemukan bungkus keripik kentang dan kaleng soda bekas sedang bertengkar sengit. Rupanya, kaleng soda merasa bungkus keripik kentang sudah terlalu lama menyabotase tv, sedangkan kaleng soda sudah sedari tadi ingin bermain video games. Keduanya berteriak kepada satu sama lain secara bersamaan, sehingga hanya terdengar suara gaduh tidak keruan dengan dilatarbelakangi volume tv yang memekak.
 Budi memperhatikan sekelilingnya. Sampah berkeliaran dimana-mana, mereka berlari, merayap, melompat, bertubrukan dan menjerit-jerit semaunya. Rumah Budi telah menjadi kancah peperangan yang kacau balau. Akhirnya Budi menyadari, rumahnya sudah tidak lagi layak untuk dihuni.
Budi mengambil remote tv, yang tergeletak terlupakan, di antara bungkus keripik kentang dan kaleng soda yang masih terus saja bertengkar. Budi mematikan tv. Lalu, setelah menarik satu napas panjang, Budi berteriak “DIAAAAAAAAMM!!”
Keheningan menusuk telinga seketika menyusul setelahnya.
Suara bergedebukan terdengar di tangga, rupanya sampah-sampah di lantai atas pun mendengar teriakan Budi. Karena penasaran, mereka langsung turun untuk melihat apa yang terjadi, beberapa diantara berlari dalam keadaan basah sehingga membuat jejak becekan di belakangnya.
Dalam waktu singkat, seluruh sampah berkumpul di ruang keluarga. Mereka membuat lingkaran dengan Budi sebagai pusatnya.
“Kalian semua harus pergi dari sini dan kembali ke tempat pembuangan sampah.” Budi menjelaskan.
Dengung tidak setuju langsung merambat diantara para sampah. “KENAPA?!” sebuah biji durian bertanya lantang.
“Karena tempat kalian bukan di sini.” Jawab Budi.
“Tapi kamu sayang pada kami, bukan? Buktinya kamu menyimpan kami tidak jauh dari sini,” sachet kopi instan menyahut.
“Itu adalah suatu kesalahan yang tidak akan terulang lagi, kalian tidak sepatutnya diperlakukan seperti itu. Aku seharusnya lebih menghormati kalian.” Ujar Budi, rasa malu menyengatnya.
Budi lalu berjalan ke dapur dan mengambil kantung besar. “Mari, biar aku kumpulkan kalian untuk dibawa ke tempat pembuangan sampah.” Budi membuka mulut kantung lebar-lebar.
Suara keberatan kembali menjalar di antara para sampah.
“Aku tidak mau berdekatan dengan kulit durian, aroma mereka terlalu menyengat!” Ujar botol sabun.
“Pinggiran tutup kaleng terlalu tajam untukku!” Ucap kulit jeruk.
Budi berpikir sambil bersila di antara para sampah. Sebuah ide muncul di kepalanya.
Budi berlari ke dapur dan kembali ke ruang keluarga sambil membawa kantung besar lainnya. Budi lalu memegang masing-masing satu kantung di kedua tangannya.
“Bagaimana kalau kalian dikumpulkan dalam tempat yang berbeda?” Budi menawarkan. “Biji, kulit buah dan sampah basah lainnya di satu tempat,” Budi mengangkat kantung di tangan kanannya. “Sedangkan botol, plastik dan sampah kering lainnya di satu tempat,” Budi mengangkat kantung di tangan kirinya.
Terdengar gumam tertarik di  antara para sampah. Setelah berdiskusi dan bernegosiasi, para sampah akhirnya setuju untuk dikumpulkan dalam kategori tersebut. Mereka lalu dengan tertib masuk ke dalam kantungnya masing-masing.
Budi lalu mengikat kedua kantung itu dengan rapih, lalu membawanya ke depan rumah. Di sana, Budi duduk manis sambil menunggu kedatangan petugas sampah, sambil sesekali berbincang-bincang dengan para sampah.
Setelah kejadian itu, para sampah terkadang datang berkunjung ke rumah Budi, tetapi dalam bentuk yang lebih bermanfaat. Misalnya, pupuk untuk menyuburkan tanaman di kebun ibu atau tempat pensil cantik yang Budi berikan sebagai hadiah ulang tahun untuk temannya.
Semenjak hari itu, Budi tidak pernah membuang sampah sembarangan lagi.
***

Saturday, March 01, 2014

Lambung


Hari itu Lisa memutuskan untuk membuat tali karet miliknya sendiri. Sembari melompat-lompat riang dan mengayunkan kedua tangannya, Lisa pergi ke warung dekat rumahnya untuk membeli sekantung besar karet gelang. 
Lisa kembali ke rumah dan mulai menjalin tali karet yang terdiri dari tiga karet gelang di setiap untaiannya. Setengah jam kemudian, Lisa selesai membuat tali karet sepanjang tiga meter.
Lisa melesat keluar rumah untuk mengajak teman-temannya bermain karet. Lisa mengetuk pintu rumah salah satu temannya, dia ternyata tidak di rumah. Lisa lalu mengetuk pintu rumah temannya yang lain, dia pun tidak ada di rumah. Hal yang sama juga terjadi ketika Lisa mengetuk pintu rumah temannya yang ketiga.
sambil menyeret tali karet sepanjang tiga meter, Lisa berjalan gontai menuju taman, dia kecewa karena rencananya tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan.
sesampai di taman, Lisa mendapati ketiga temannya sedang bermain basket, kekesalan langsung menjajah dirinya.
Salah seorang teman Lisa melemparkan bola begitu tingginya, sehingga bola bukannya masuk ke dalam keranjang, tetapi malah menyangkut di dahan pohon yang tinggi. Tidak ada seorang pun teman Lisa yang bisa mengambil bola itu.
Lisa dengan puas menyaksikan usaha sia-sia ketiga temannya untuk mengambil bola basket.
Lalu, Lisa dengan pongahnya berjalan melewati ketiga temannya, mengikat karet di dua buah tiang, lalu mulai bermain lompat karet sendirian. Lisa memperlihatkan dirinya bisa bersenang-senang tanpa bantuan siapapun. 
Ketiga teman Lisa memperhatikan dengan masam.
Lisa terus melompat bolak-balik, semakin lama dia melompat semakin tinggi.
Pada lompatannya yang tertinggi, Lisa melihat sebuah balon hijau dengan motif bintang-bintang melayang di atas kepalanya.
Refleks Lisa menggenggam benang tipis yang berayun menjuntai dari balon itu. 
Balon itu lalu membawa Lisa melambung, terus melambung tinggi ke angkasa.
Lisa melambung diantara gumpalan awan empuk dan sepoi angin yang membelai pipinya. Lisa langsung menyadari, dirinya ternyata suka ketinggian.

Lisa lalu berpapasan dengan seekor burung yang terbang jauh mendahului kelompoknya, dia terlihat begitu kesusahan.
Lisa lalu bertanya, “kenapa kau terlihat begitu kesusahan?”
Si burung menjawab, “karena aku terbang mendului kawananku, sehingga harus melawan tirai angin sendirian.”
Lisa sebenarnya masih ingin terus berbincang, tetapi angin menuntunnya melambung sampai di sebuah sarang raksasa diantara gumpalan awan. Lisa melihat satu anak burung meringis memeluk perutnya yang besar menggembung, sedangkan tiga anak lainnya ribut berciap-ciap.
Lisa bertanya kepada anak burung yang meringis memeluk perutnya, “kenapa kau kesakitan?”
Si anak burung menjawab, “aku memakan semua cacing sendirian. Sekarang perutku kesakitan, sedangkan saudara-saudaraku kelaparan.”
Lisa bertanya, “dimana induk kalian?”
Sebelum si anak burung menjawab, si burung yang tadi terbang sendirian terbang masuk membawa cacing-cacing di paruhnya. Dia mulai menyuapi anak-anak burung yang ribut kelaparan.
Lisa memperhatikan keluarga burung itu. Bulu-bulu si induk burung mencuat berantakan akibat terbang menghadang angin sendirian, dia pun kewalahan menyuapi tiga anak burung yang ribut memperebutkan cacing-cacing, dan satu anak burung masih kesakitan akibat kekenyangan. 
Lisa mengangguk kecil, Lisa melompat turun dari sarang.
Seolah membaca pikiran Lisa, balon hijau berbintang menuntun Lisa kembali ke taman.
Sebelum mendarat, Lisa menyempatkan mengambil bola basket yang menyangkut di pohon yang tinggi. 
Begitu mendarat di taman, Lisa melepaskan genggamannya pada balon hijau berbintang. Balon itu kembali melambung tinggi ke udara.
Sembari berbisik, Lisa mengatakan "terima kasih." Angin sepoi lembut menyapa Lisa, membawa ucapannya melayang ke udara.
Sambil menggenggam bola basket, Lisa berlari menghampiri ketiga temannya yang duduk termenung sambil bertopang dagu.. 
Lisa dan ketiga temannya akhirnya bermain lompat tali bersama dengan riang gembira, meninggalkan begitu saja bola basket di pinggir lapangan. 
Lisa begitu bahagia. Hari itu ternyata berjalan melebihi harapannya.  

Thursday, February 27, 2014

[lelah namun terjaga]


Waktu menganyam
Cukup lama berayun dalam buaian tunggal
Cukup nyaman terlena berjingkat sendirian,
Pernah sekali taburan bintang membuncah di diriku
Membentang gemerlapan
Menyuguhkan janji kebahagian,
Nyatanya saat itu bukan jamuanku
Nyatanya kala itu penyesalan menggelayuti pagiku
Ya Allah,
Pada-Mu tak ada satupun serat tubuhku mampu berdusta
Hanya pada-Mu hamba berdoa
Memohon,
Ketika taburan bintang kembali membentang gemerlapan di diriku
Biarkanlah dia yang memang akan menggenggamku
Bersama menapak untuk saat ini dan kemudian,
Ya Allah,
Jagalah hatiku, bimbinglah aku dalam merasa
Ya Allah,
Kumohon…
Jadikanlah dia jawaban doaku.

Tuesday, February 25, 2014

Susu Sakti

Sakti bangun terlalu pagi hari itu, bulan masih benderang di angkasa. Saat itu juga Sakti memutuskan untuk tidak kembali tidur, dia merenggangkan tubuhnya lalu melompat turun dari kasur.
Sakti berdiri bertolak pinggang sambil memikirkan hal menyenangkan apa yang bisa dia lakukan di pagi itu, dia lalu menyadari ada segelas susu di samping tempat tidurnya. Susu itu hangat. Sakti meraih gelas susu itu lalu berjalan keluar dari kamarnya sambil masih bertelanjang kaki.

Sakti masuk ke kamar orang tuanya, Ayah dan Ibu masih terlelap di atas ranjang besar mereka. Sakti memanjat ke atas ranjang, merayap di bawah selimut tebal, lalu muncul diantara Ayah dan Ibu. Sakti lalu duduk bersila diantara Ayah dan Ibu sambil terus menggenggam segelas susu hangat di atas pangkuannya.
Sakti menoleh ke kanan lalu bertanya, “Ibu yang menaruh susu ini di kamarku?”
Ibu tetap tidur pulas dan tidak menjawab.
Sakti menoleh ke kiri lalu bertanya, “Ayah yang menaruh susu ini di kamarku?”
Ayah pun tetap tidur pulas dan tidak menjawab.
Sakti merasa sangat kesal lalu meminum seteguk susunya. Dalam hati Sakti berharap kedua orangtuanya bangun dan menjawab pertanyaannya. Seketika Ayah dan ibu membuka mata, lalu menatap Sakti yang duduk bersila sambil menggenggam segelas susu hangat di atas pangkuannya.
Sakti langsung riang melihat orang tuanya telah bangun. Sakti menolehkan kepalanya ke kanan dan ke kiri sambil menggerakkan tubuhnya naik turun sampai ranjang berdecit-decit, lalu kembali bertanya. Ayah dan Ibu menggelengkan kepala sembari menjawab “Bukan.”
“Lalu siapa yang menaruh susu di kamarku?”
Ayah dan Ibu menggelengkan kepala berbarengan.
Sakti kembali merasa kesal. Sakti meminum seteguk susu sambil terus memantul-mantul di atas ranjang, berharap kedua orang tuanya bisa memberikan jawaban yang memuaskan dirinya.
Ayah dan ibu memberikan tatapan kebingungan kepada satu sama lain. Begitu kebingungannya, mereka sampai terlelap lagi.
Sakti berhenti memantul. Dengan kecewa, Sakti berjinjit turun dari ranjang sambil merentangkan kedua tangannya, gelas susu di tangan kanannya. Masih terus berjinjit, Sakti keluar dari kamar Ayah dan Ibu.
Sakti menyusuri koridor rumahnya menuju ruang keluarga. Kesepian segera menggantikan kekecewaan yang tadi mengusiknya.
Sakti teringat kucing kesayangannya yang hilang sebulan lalu, Kuro namanya. Sakti meminum seteguk susu lalu bergelung di atas karpet empuk di tengah ruangan, berharap kucingnya yang hilang kembali ke rumah.
Sakti mendengar suara ketukan di jendela. Tap Tap Tap.
Sakti mengangkat kepalanya. Kuro, si kucing berbulu hitam pekat, berdiri di ambang jendela. Kuro mengeong keras sembari dengan bersemangat menggaruk-garuk kaca jendela, ekornya bergerak naik-turun.
Sakti membuka jendela, Kuro pun meloncat masuk.
Bersama Kuro, Sakti bermain tangkap bola benang rajut hijau yang Ibu tinggalkan di samping sofa pink berenda favoritnya. Setelah beberapa saat, bola benang rajut hijau itu mulai terurai dan menjadi kusut. Walaupun begitu, Sakti dan Kuro tetap bermain dengan riang gembira. Semakin kusut tak karuan benang itu, semakin menyenangkan permainan mereka.
Akan tetapi, ketika sedang melompat-lompat ringan diantara awutan benang, Kuro tak sengaja mencakar Sakti di pergelangan kaki kiri. Sengatan perih seketika memecahkan gelembung besar kesenangan.
Dengan mata berair, Sakti meneguk susunya. Dia berharap Kuro pergi dan tak bisa lagi menemukan jalan pulang. Kuro mengeong dan mendesis keras, dengan bulu berdiri di sekujur tubuhnya, dia melompat keluar jendela. Saat itu terakhir kalinya Sakti melihat Kuro.
Sakti duduk memberengut di tengah karpet empuk, benang hijau kusut menutupi sekujur tubuhnya. Sakti menangkup erat goresan di kaki kirinya dengan telapak tangan kanannya, dia kembali merasa kesepian. Dia meneguk susunya lalu memejamkan mata erat, berharap suasana menjadi hingar-bingar.
Tiba-tiba alunan musik berdentum terdengar dari kejauhan, suara itu terdengar semakin dekat dan keras. Bum Bum Bum.
Sakti berlari menuju jendela lalu melongokkan kepalanya keluar. Dari kejauhan dilihatnya sekelompok pemusik, dilatarbelakangi bulan benderang dan bintang kerlap-kerlip, berjalan mendekat sembari memainkan berbagai alat musik.
Mereka memakai pakaian cerah warna-warni dan dengan entengnya membopong berbagai alat musik besar: gitar, cello, drum bass, simbal, tuba, keyboard, dan angklung. Para pemusik jalanan lalu berhenti di depan rumah Sakti dan mulai melantunkan musik ceria. 
Sakti bertelanjang kaki melesat keluar rumah. Dengan benang hijau menutupi sekujur tubuhnya dan segelas susu hangat di genggamannya, Sakti mulai bernyanyi dan menari menghentak-hentakan kaki sesuka hatinya bersama para pemusik jalanan.
Suara musik dan nyanyian makin lama makin kencang, akan tetapi nampaknya, tidak ada seorang pun, selain Sakti, yang menyadari pertunjukkan jalanan itu.
Sakti sepenuhnya menikmati pertunjukkan itu, untuk dirinya sendiri.
Sakti akhirnya kelelahan. Tenggorokannya perih, sehingga tidak mampu bernyanyi lagi. Kakinya nyeri, sehingga tidak mampu menghentak lagi.
Sakti meminum teguk terakhir susu di genggamannya, berharap hari ini tidak harus bersekolah dan bisa bersantai seharian.
Para pemusik jalanan melanjutkan perjalanan mereka.
Sempoyongan, Sakti berjalan kembali ke rumahnya, gelas susu di tangannya kosong.
Sakti masuk ke kamarnya, meletakkan gelas susu kosong di samping tempat tidurnya, menjatuhkan diri di atas kasur, lalu tertidur pulas.
Setelah sepertinya lama sekali, Sakti terbangun oleh usapan lembut di keningnnya. Ketika Sakti membuka mata, dilihatnya Ibu duduk di sampingnya sambil terus mengusap kepalanya. Sakti sudah merasa segar, tenggorokannya tidak lagi perih, kakinya tidak lagi nyeri.
Ibu bertanya, “mau sarapan apa pagi ini?”
Merasa sudah cukup meminum susu seumur hidupnya, Sakti menjawab “Sup hangat, tanpa susu.”
Ibu tersenyum lalu turun dari kasur untuk menyiapkan sarapan. Hari itu adalah hari Minggu, Sakti bisa bersantai seharian.
***