Budi adalah seorang anak tunggal yang kedua orang tuanya
bekerja. Oleh karena itu, Budi sering sendirian di rumah sepulang sekolah.
Karena tidak mempunyai pembantu rumah tangga, setiap orang di
rumah memiliki tugas domestiknya masing-masing. Tugas Budi adalah membuang
sampah sebelum petugas sampah datang setiap hari pada pukul empat sore.
Pada suatu Senin sore, karena keasyikan menonton kartun di
tv, Budi terlambat membuang sampah. Petugas sampah sudah terlanjur pergi dan
baru akan datang lagi besok sore.
Budi menatap bundelan sampah dengan ngeri, dia tahu Ibu akan
marah karenanya.
Lalu, entah mendapat ide dari mana, Budi seketika melempar
sampah melewati tembok samping rumahnya.
Budi langsung merasa enteng, beban yang ditanggungnya hilang
sekejap. Lagipula, di samping tembok itu hanya ada kebun kosong, tidak akan ada yang merasa keberatan,
begitu pikir Budi.
Setelah kejadian itu, Budi malah menjadikan ritual
melempar-sampah-melewati-tembok-samping-rumah sebagai kebiasaan. Budi merasa,
pilihan yang diambilnya jauh lebih mudah, dibandingkan mengikuti aturan
sederhana yang sudah ditetapkan Ibu. Empat hari berturut-turut sudah Budi
melakoni tingkah barunya.
Pada hari kelima, di siang hari ketika Budi hendak memutar
kunci pintu rumah sepulangnya dari sekolah, dia mendengar suara riuh dari dalam
rumah. Budi langsung mempercepat pergerakan tangannya, lalu segera membuka
pintu lebar-lebar.
Budi butuh beberapa saat untuk benar-benar memahami apa yang
sedang terjadi dalam rumahnya. Ruang tamu dipenuhi oleh sampah. Tapi bukan
hanya itu, sampah-sampah itu bergerak dan berceloteh satu sama lain.
Budi ternganga melihat sebuah bungkus keripik kentang yang
bergoler santai di sofa, sambil terus saja menggonta-ganti saluran tv yang
dinyalakan dalam volume maksimal.
Budi merasa sesuatu menyodok pergelangan kakinya kuat-kuat,
terdengar suara memanggil “Hei!!”
Budi melongok ke bawah, dilihatnya botol soda kosong sedang
menyodok-nyodok pergelangan kakinya dengan spatula, “dimana pembuka kaleng?!”
begitu tuntutnya.
“untuk apa?” Budi bertanya.
“Kami mau memaksa kerumunan kecoak bandel keluar dari Cici.”
Jawab botol soda sambil terus menyodok.
“Cici?” Budi memindahkan posisi kakinya.
“Cici, si kaleng leci kalengan!” Botol soda menjawab dengan
terkejut, seolah fakta kalau Budi tidak mengenal Cici adalah sebuah aib besar.
“Biasanya tergantung di rak di atas bak cuci piring.” Budi
menunjuk sambil mengelak menghindari sodokan si botol soda.
Setelah satu sabetan keras telak mengenai pergelangan kaki
Budi, botol soda langsung melesat menuju ruang makan.
Sambil melompat-lompat kesakitan, Budi melongok ke ruang
makan, pandangannya jatuh ke atas meja. Di sana Budi melihat sebuah kaleng
bergambar buah leci sedang tersedu-dua, kaleng itu sesekali bergemeresak, dia
dikelilingi banyak botol dan kaleng bekas lain yang terlihat iba.
Budi lalu mengalihkan pandangannya ke lemari piring.
Dilihatnya beberapa biji kelengkeng baru saja terjun ke bawah, sambil
masing-masing menggenggam selembar tissue yang digunakan sebagai parasut.
Mereka berayun-ayun perlahan sampai mendarat di lantai dengan mulus, lalu
saling menggabrukkan diri setelahnya.
Bingung luar biasa, Budi berjalan perlahan kembali ke ruang
tamu. Dalam setiap langkahnya, Budi memperhatikan apa saja yang terjadi dalam
rumah.
Budi melihat sebuah bohlam pecah yang sedikit hangus, sedang
memutar bohlam yang terpasang di lampu meja di perpustakaan. Setelah bohlam meja
perpustakaan terlepas, si bohlam hangus menjatuhkan begitu saja bohlam yang masih
dalam kondisi bagus itu, hingga pecah berserakan di lantai. Si bohlam hangus lalu
memutar dirinya di lampu meja yang sekarang menjadi singgasananya.
Di tengah-tengah karpet ruang tamu, kereta mainan milik Budi sedang
berputar-putar cepat, di atasnya naik beberapa karton susu kosong. Di
belakangnya, beberapa karton jus buah kosong berlari mengejar-ngejar, sambil
berteriak “Gantian! Gantian!”
Budi menjatuhkan dirinya di sofa depan tv, dia belum
sepenuhnya memutuskan apakah dirinya waras atau tidak.
Budi meraba-raba mencari remote untuk mengecilkan suara tv
yang membahana, akan tetapi dia tidak bisa menemukannya di mana pun. Si bungkus
keripik kentang pun tidak terlihat.
Tak lama kemudian, Budi mendengar bunyi benda yang diseret.
Si bungkus keripik kentang ternyata sedang berjalan kembali menuju sofa, remote
tv dikempitnya di kanan, sedangkan sebungkus keripik kentang baru diseretnya di
kiri.
Si bungkus keripik kentang dengan mulus memanjat ke atas
sofa, lalu kembali mengambil posisi santai di sana. Dia membuka bungkus keripik
kentang baru, lalu mulai memindahkan isinya ke dalam bungkusnya sendiri, sambil
ribut mengunyah-ngunyah.
Si bungkus keripik kentang mulai menggonta-ganti saluran tv
lagi. “Apa acara tv yang bagus?” Tanyanya pada Budi.
Budi menyebutkan acara tv kesukaannya. Si bungkus keripik
kentang langsung memindahkan saluran tv ke acara itu, lalu mulai menonton.
“Camilan?” Si bungkus keripik kentang menawarkan. Budi dan si
bungkus keripik kentang akhirnya menonton bersama.
Ketika sedang asyik menonton, tiba-tiba tiga karton jus buah
melompat ke pangkuan Budi, masing-masing memeluk satu karton jus buah dingin
yang baru saja dikeluarkan dari kulkas.
“Jus buah?” Ujar ketiga karton jus bekas bersamaan.
“Kami harus memperbesar pasukan karton jus buah, kami kalah
jumlah dengan pasukan karton susu!” Si karton jus yang tengah menjelaskan.
Budi dengan senang hati mengambil ketiga jus segar itu.
Setelah selesai meminumnya, Budi melempar karton bekasnya begitu saja ke
lantai.
Budi mulai berpikir, keadaan
ini tidak terlalu buruk, terlihat
cukup menyenangkan, sekarang aku
tidak sendirian lagi sepulang sekolah! Budi membiarkan begitu saja
sampah-sampah yang berkeliaran di sekitarnya.
Setelah acara tv favorit Budi selesai diputar, si bungkus
keripik kentang bersiap menonton acara selanjutnya. Sedangkan bagi Budi, rasa
kantuk mulai menyapanya. Saat itu sudah memasuki jam tidur siang.
Sembari menyapa gumpalan-gumpalan kertas yang berseluncur di
pegangan tangga, Budi berjalan gontai menuju kamarnya.
Akan tetapi, rencana tidur siang ternyata harus menunggu,
karena kasur Budi sudah dipenuhi kotak-kotak susu bekas yang berjejal-jejalan
di bawah selimut. Para kotak jus ternyata berhasil membuat pasukan dalam jumlah
besar, sehingga memaksa para kotak susu hengkang dari kereta mainan yang sempat
mereka kuasai. Lalu, para kotak susu akhirnya memutuskan untuk istirahat,
setelah lelah bertempur dengan gerombolan kotak jus.
Tidak seperti pasukan kotak jus, Budi tidak berhasil memaksa
para kotak susu pergi dari kasurnya. Maka, Budi memutuskan untuk mandi supaya
menghilangkan kantuknya.
Akan tetapi, kamar mandi ternyata telah dipenuhi botol-botol
sampo dan sabun kosong yang tengah asik berendam buih busa sambil kecicikan
dalam bath tub. Mereka menjerit
histeris ketika Budi masuk ke kamar mandi, lalu menciprati Budi dengan air.
Basah kuyup, Budi mengangkat bahunya lalu keluar dari kamar
mandi, dia menuju dapur untuk mengambil es krim, karena Budi selalu bisa
menemukan solusi ketika sedang mengemil es krim. Akan tetapi, Budi harus kecewa
karena sesampainya di dapur, dia menemukan kotak-kotak es krim tergeletak
begitu saja di luar freezer, seluruh
isinya meleleh. Begitu Budi membuka freezer,
ternyata kotak-kotak es krim bekas sudah bersantai di sana, tidak menyisakan
ruang sedikitpun untuk es krim baru.
Budi lalu mendengar suara dengkuran yang bersahut-sahutan di
belakangnya. Ketika Budi menoleh, dilihatnya kulit pisang, jeruk dan durian
sedang tidur nyenyak, sambil berdesak-desakkan, di atas piring bersih di meja
makan.
Budi berpikir, mungkin
sebaiknya aku menonton tv lagi bersama bungkus keripik kentang.
Budi lalu melangkahkan kakinya kembali ke ruang keluarga.
Namun disana, Budi menemukan bungkus keripik kentang dan kaleng soda bekas
sedang bertengkar sengit. Rupanya, kaleng soda merasa bungkus keripik kentang
sudah terlalu lama menyabotase tv, sedangkan kaleng soda sudah sedari tadi
ingin bermain video games. Keduanya berteriak kepada satu sama lain secara
bersamaan, sehingga hanya terdengar suara gaduh tidak keruan dengan dilatarbelakangi
volume tv yang memekak.
Budi memperhatikan
sekelilingnya. Sampah berkeliaran dimana-mana, mereka berlari, merayap,
melompat, bertubrukan dan menjerit-jerit semaunya. Rumah Budi telah menjadi
kancah peperangan yang kacau balau. Akhirnya Budi menyadari, rumahnya sudah
tidak lagi layak untuk dihuni.
Budi mengambil remote
tv, yang tergeletak terlupakan, di antara bungkus keripik kentang dan kaleng
soda yang masih terus saja bertengkar. Budi mematikan tv. Lalu, setelah menarik
satu napas panjang, Budi berteriak “DIAAAAAAAAMM!!”
Keheningan menusuk telinga seketika menyusul setelahnya.
Suara bergedebukan terdengar di tangga, rupanya sampah-sampah
di lantai atas pun mendengar teriakan Budi. Karena penasaran, mereka langsung
turun untuk melihat apa yang terjadi, beberapa diantara berlari dalam keadaan
basah sehingga membuat jejak becekan di belakangnya.
Dalam waktu singkat, seluruh sampah berkumpul di ruang
keluarga. Mereka membuat lingkaran dengan Budi sebagai pusatnya.
“Kalian semua harus pergi dari sini dan kembali ke tempat pembuangan
sampah.” Budi menjelaskan.
Dengung tidak setuju langsung merambat diantara para sampah.
“KENAPA?!” sebuah biji durian bertanya lantang.
“Karena tempat kalian bukan di sini.” Jawab Budi.
“Tapi kamu sayang pada kami, bukan? Buktinya kamu menyimpan
kami tidak jauh dari sini,” sachet
kopi instan menyahut.
“Itu adalah suatu kesalahan yang tidak akan terulang lagi,
kalian tidak sepatutnya diperlakukan seperti itu. Aku seharusnya lebih
menghormati kalian.” Ujar Budi, rasa malu menyengatnya.
Budi lalu berjalan ke dapur dan mengambil kantung besar.
“Mari, biar aku kumpulkan kalian untuk dibawa ke tempat pembuangan sampah.”
Budi membuka mulut kantung lebar-lebar.
Suara keberatan kembali menjalar di antara para sampah.
“Aku tidak mau berdekatan dengan kulit durian, aroma mereka
terlalu menyengat!” Ujar botol sabun.
“Pinggiran tutup kaleng terlalu tajam untukku!” Ucap kulit
jeruk.
Budi berpikir sambil bersila di antara para sampah. Sebuah
ide muncul di kepalanya.
Budi berlari ke dapur dan kembali ke ruang keluarga sambil
membawa kantung besar lainnya. Budi lalu memegang masing-masing satu kantung di
kedua tangannya.
“Bagaimana kalau kalian dikumpulkan dalam tempat yang
berbeda?” Budi menawarkan. “Biji, kulit buah dan sampah basah lainnya di satu
tempat,” Budi mengangkat kantung di tangan kanannya. “Sedangkan botol, plastik
dan sampah kering lainnya di satu tempat,” Budi mengangkat kantung di tangan
kirinya.
Terdengar gumam tertarik di
antara para sampah. Setelah berdiskusi dan bernegosiasi, para sampah
akhirnya setuju untuk dikumpulkan dalam kategori tersebut. Mereka lalu dengan
tertib masuk ke dalam kantungnya masing-masing.
Budi lalu mengikat kedua kantung itu dengan rapih, lalu
membawanya ke depan rumah. Di sana, Budi duduk manis sambil menunggu kedatangan
petugas sampah, sambil sesekali berbincang-bincang dengan para sampah.
Setelah kejadian itu, para sampah terkadang datang berkunjung
ke rumah Budi, tetapi dalam bentuk yang lebih bermanfaat. Misalnya, pupuk untuk
menyuburkan tanaman di kebun ibu atau tempat pensil cantik yang Budi berikan
sebagai hadiah ulang tahun untuk temannya.
Semenjak hari itu, Budi tidak pernah membuang sampah
sembarangan lagi.
***