Saturday, March 01, 2014

Lambung


Hari itu Lisa memutuskan untuk membuat tali karet miliknya sendiri. Sembari melompat-lompat riang dan mengayunkan kedua tangannya, Lisa pergi ke warung dekat rumahnya untuk membeli sekantung besar karet gelang. 
Lisa kembali ke rumah dan mulai menjalin tali karet yang terdiri dari tiga karet gelang di setiap untaiannya. Setengah jam kemudian, Lisa selesai membuat tali karet sepanjang tiga meter.
Lisa melesat keluar rumah untuk mengajak teman-temannya bermain karet. Lisa mengetuk pintu rumah salah satu temannya, dia ternyata tidak di rumah. Lisa lalu mengetuk pintu rumah temannya yang lain, dia pun tidak ada di rumah. Hal yang sama juga terjadi ketika Lisa mengetuk pintu rumah temannya yang ketiga.
sambil menyeret tali karet sepanjang tiga meter, Lisa berjalan gontai menuju taman, dia kecewa karena rencananya tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan.
sesampai di taman, Lisa mendapati ketiga temannya sedang bermain basket, kekesalan langsung menjajah dirinya.
Salah seorang teman Lisa melemparkan bola begitu tingginya, sehingga bola bukannya masuk ke dalam keranjang, tetapi malah menyangkut di dahan pohon yang tinggi. Tidak ada seorang pun teman Lisa yang bisa mengambil bola itu.
Lisa dengan puas menyaksikan usaha sia-sia ketiga temannya untuk mengambil bola basket.
Lalu, Lisa dengan pongahnya berjalan melewati ketiga temannya, mengikat karet di dua buah tiang, lalu mulai bermain lompat karet sendirian. Lisa memperlihatkan dirinya bisa bersenang-senang tanpa bantuan siapapun. 
Ketiga teman Lisa memperhatikan dengan masam.
Lisa terus melompat bolak-balik, semakin lama dia melompat semakin tinggi.
Pada lompatannya yang tertinggi, Lisa melihat sebuah balon hijau dengan motif bintang-bintang melayang di atas kepalanya.
Refleks Lisa menggenggam benang tipis yang berayun menjuntai dari balon itu. 
Balon itu lalu membawa Lisa melambung, terus melambung tinggi ke angkasa.
Lisa melambung diantara gumpalan awan empuk dan sepoi angin yang membelai pipinya. Lisa langsung menyadari, dirinya ternyata suka ketinggian.

Lisa lalu berpapasan dengan seekor burung yang terbang jauh mendahului kelompoknya, dia terlihat begitu kesusahan.
Lisa lalu bertanya, “kenapa kau terlihat begitu kesusahan?”
Si burung menjawab, “karena aku terbang mendului kawananku, sehingga harus melawan tirai angin sendirian.”
Lisa sebenarnya masih ingin terus berbincang, tetapi angin menuntunnya melambung sampai di sebuah sarang raksasa diantara gumpalan awan. Lisa melihat satu anak burung meringis memeluk perutnya yang besar menggembung, sedangkan tiga anak lainnya ribut berciap-ciap.
Lisa bertanya kepada anak burung yang meringis memeluk perutnya, “kenapa kau kesakitan?”
Si anak burung menjawab, “aku memakan semua cacing sendirian. Sekarang perutku kesakitan, sedangkan saudara-saudaraku kelaparan.”
Lisa bertanya, “dimana induk kalian?”
Sebelum si anak burung menjawab, si burung yang tadi terbang sendirian terbang masuk membawa cacing-cacing di paruhnya. Dia mulai menyuapi anak-anak burung yang ribut kelaparan.
Lisa memperhatikan keluarga burung itu. Bulu-bulu si induk burung mencuat berantakan akibat terbang menghadang angin sendirian, dia pun kewalahan menyuapi tiga anak burung yang ribut memperebutkan cacing-cacing, dan satu anak burung masih kesakitan akibat kekenyangan. 
Lisa mengangguk kecil, Lisa melompat turun dari sarang.
Seolah membaca pikiran Lisa, balon hijau berbintang menuntun Lisa kembali ke taman.
Sebelum mendarat, Lisa menyempatkan mengambil bola basket yang menyangkut di pohon yang tinggi. 
Begitu mendarat di taman, Lisa melepaskan genggamannya pada balon hijau berbintang. Balon itu kembali melambung tinggi ke udara.
Sembari berbisik, Lisa mengatakan "terima kasih." Angin sepoi lembut menyapa Lisa, membawa ucapannya melayang ke udara.
Sambil menggenggam bola basket, Lisa berlari menghampiri ketiga temannya yang duduk termenung sambil bertopang dagu.. 
Lisa dan ketiga temannya akhirnya bermain lompat tali bersama dengan riang gembira, meninggalkan begitu saja bola basket di pinggir lapangan. 
Lisa begitu bahagia. Hari itu ternyata berjalan melebihi harapannya.  

Thursday, February 27, 2014

[lelah namun terjaga]


Waktu menganyam
Cukup lama berayun dalam buaian tunggal
Cukup nyaman terlena berjingkat sendirian,
Pernah sekali taburan bintang membuncah di diriku
Membentang gemerlapan
Menyuguhkan janji kebahagian,
Nyatanya saat itu bukan jamuanku
Nyatanya kala itu penyesalan menggelayuti pagiku
Ya Allah,
Pada-Mu tak ada satupun serat tubuhku mampu berdusta
Hanya pada-Mu hamba berdoa
Memohon,
Ketika taburan bintang kembali membentang gemerlapan di diriku
Biarkanlah dia yang memang akan menggenggamku
Bersama menapak untuk saat ini dan kemudian,
Ya Allah,
Jagalah hatiku, bimbinglah aku dalam merasa
Ya Allah,
Kumohon…
Jadikanlah dia jawaban doaku.

Tuesday, February 25, 2014

Susu Sakti

Sakti bangun terlalu pagi hari itu, bulan masih benderang di angkasa. Saat itu juga Sakti memutuskan untuk tidak kembali tidur, dia merenggangkan tubuhnya lalu melompat turun dari kasur.
Sakti berdiri bertolak pinggang sambil memikirkan hal menyenangkan apa yang bisa dia lakukan di pagi itu, dia lalu menyadari ada segelas susu di samping tempat tidurnya. Susu itu hangat. Sakti meraih gelas susu itu lalu berjalan keluar dari kamarnya sambil masih bertelanjang kaki.

Sakti masuk ke kamar orang tuanya, Ayah dan Ibu masih terlelap di atas ranjang besar mereka. Sakti memanjat ke atas ranjang, merayap di bawah selimut tebal, lalu muncul diantara Ayah dan Ibu. Sakti lalu duduk bersila diantara Ayah dan Ibu sambil terus menggenggam segelas susu hangat di atas pangkuannya.
Sakti menoleh ke kanan lalu bertanya, “Ibu yang menaruh susu ini di kamarku?”
Ibu tetap tidur pulas dan tidak menjawab.
Sakti menoleh ke kiri lalu bertanya, “Ayah yang menaruh susu ini di kamarku?”
Ayah pun tetap tidur pulas dan tidak menjawab.
Sakti merasa sangat kesal lalu meminum seteguk susunya. Dalam hati Sakti berharap kedua orangtuanya bangun dan menjawab pertanyaannya. Seketika Ayah dan ibu membuka mata, lalu menatap Sakti yang duduk bersila sambil menggenggam segelas susu hangat di atas pangkuannya.
Sakti langsung riang melihat orang tuanya telah bangun. Sakti menolehkan kepalanya ke kanan dan ke kiri sambil menggerakkan tubuhnya naik turun sampai ranjang berdecit-decit, lalu kembali bertanya. Ayah dan Ibu menggelengkan kepala sembari menjawab “Bukan.”
“Lalu siapa yang menaruh susu di kamarku?”
Ayah dan Ibu menggelengkan kepala berbarengan.
Sakti kembali merasa kesal. Sakti meminum seteguk susu sambil terus memantul-mantul di atas ranjang, berharap kedua orang tuanya bisa memberikan jawaban yang memuaskan dirinya.
Ayah dan ibu memberikan tatapan kebingungan kepada satu sama lain. Begitu kebingungannya, mereka sampai terlelap lagi.
Sakti berhenti memantul. Dengan kecewa, Sakti berjinjit turun dari ranjang sambil merentangkan kedua tangannya, gelas susu di tangan kanannya. Masih terus berjinjit, Sakti keluar dari kamar Ayah dan Ibu.
Sakti menyusuri koridor rumahnya menuju ruang keluarga. Kesepian segera menggantikan kekecewaan yang tadi mengusiknya.
Sakti teringat kucing kesayangannya yang hilang sebulan lalu, Kuro namanya. Sakti meminum seteguk susu lalu bergelung di atas karpet empuk di tengah ruangan, berharap kucingnya yang hilang kembali ke rumah.
Sakti mendengar suara ketukan di jendela. Tap Tap Tap.
Sakti mengangkat kepalanya. Kuro, si kucing berbulu hitam pekat, berdiri di ambang jendela. Kuro mengeong keras sembari dengan bersemangat menggaruk-garuk kaca jendela, ekornya bergerak naik-turun.
Sakti membuka jendela, Kuro pun meloncat masuk.
Bersama Kuro, Sakti bermain tangkap bola benang rajut hijau yang Ibu tinggalkan di samping sofa pink berenda favoritnya. Setelah beberapa saat, bola benang rajut hijau itu mulai terurai dan menjadi kusut. Walaupun begitu, Sakti dan Kuro tetap bermain dengan riang gembira. Semakin kusut tak karuan benang itu, semakin menyenangkan permainan mereka.
Akan tetapi, ketika sedang melompat-lompat ringan diantara awutan benang, Kuro tak sengaja mencakar Sakti di pergelangan kaki kiri. Sengatan perih seketika memecahkan gelembung besar kesenangan.
Dengan mata berair, Sakti meneguk susunya. Dia berharap Kuro pergi dan tak bisa lagi menemukan jalan pulang. Kuro mengeong dan mendesis keras, dengan bulu berdiri di sekujur tubuhnya, dia melompat keluar jendela. Saat itu terakhir kalinya Sakti melihat Kuro.
Sakti duduk memberengut di tengah karpet empuk, benang hijau kusut menutupi sekujur tubuhnya. Sakti menangkup erat goresan di kaki kirinya dengan telapak tangan kanannya, dia kembali merasa kesepian. Dia meneguk susunya lalu memejamkan mata erat, berharap suasana menjadi hingar-bingar.
Tiba-tiba alunan musik berdentum terdengar dari kejauhan, suara itu terdengar semakin dekat dan keras. Bum Bum Bum.
Sakti berlari menuju jendela lalu melongokkan kepalanya keluar. Dari kejauhan dilihatnya sekelompok pemusik, dilatarbelakangi bulan benderang dan bintang kerlap-kerlip, berjalan mendekat sembari memainkan berbagai alat musik.
Mereka memakai pakaian cerah warna-warni dan dengan entengnya membopong berbagai alat musik besar: gitar, cello, drum bass, simbal, tuba, keyboard, dan angklung. Para pemusik jalanan lalu berhenti di depan rumah Sakti dan mulai melantunkan musik ceria. 
Sakti bertelanjang kaki melesat keluar rumah. Dengan benang hijau menutupi sekujur tubuhnya dan segelas susu hangat di genggamannya, Sakti mulai bernyanyi dan menari menghentak-hentakan kaki sesuka hatinya bersama para pemusik jalanan.
Suara musik dan nyanyian makin lama makin kencang, akan tetapi nampaknya, tidak ada seorang pun, selain Sakti, yang menyadari pertunjukkan jalanan itu.
Sakti sepenuhnya menikmati pertunjukkan itu, untuk dirinya sendiri.
Sakti akhirnya kelelahan. Tenggorokannya perih, sehingga tidak mampu bernyanyi lagi. Kakinya nyeri, sehingga tidak mampu menghentak lagi.
Sakti meminum teguk terakhir susu di genggamannya, berharap hari ini tidak harus bersekolah dan bisa bersantai seharian.
Para pemusik jalanan melanjutkan perjalanan mereka.
Sempoyongan, Sakti berjalan kembali ke rumahnya, gelas susu di tangannya kosong.
Sakti masuk ke kamarnya, meletakkan gelas susu kosong di samping tempat tidurnya, menjatuhkan diri di atas kasur, lalu tertidur pulas.
Setelah sepertinya lama sekali, Sakti terbangun oleh usapan lembut di keningnnya. Ketika Sakti membuka mata, dilihatnya Ibu duduk di sampingnya sambil terus mengusap kepalanya. Sakti sudah merasa segar, tenggorokannya tidak lagi perih, kakinya tidak lagi nyeri.
Ibu bertanya, “mau sarapan apa pagi ini?”
Merasa sudah cukup meminum susu seumur hidupnya, Sakti menjawab “Sup hangat, tanpa susu.”
Ibu tersenyum lalu turun dari kasur untuk menyiapkan sarapan. Hari itu adalah hari Minggu, Sakti bisa bersantai seharian.
***