Sakti bangun terlalu pagi hari itu, bulan masih benderang di angkasa. Saat
itu juga Sakti memutuskan untuk tidak kembali tidur, dia merenggangkan tubuhnya
lalu melompat turun dari kasur.
Sakti berdiri bertolak pinggang sambil memikirkan hal menyenangkan apa
yang bisa dia lakukan di pagi itu, dia lalu menyadari ada segelas susu di samping tempat tidurnya. Susu itu hangat. Sakti meraih gelas susu itu lalu berjalan keluar dari
kamarnya sambil masih bertelanjang kaki.
Sakti masuk ke kamar orang tuanya, Ayah dan Ibu masih terlelap di atas ranjang besar mereka. Sakti
memanjat ke atas ranjang, merayap di bawah selimut tebal, lalu muncul diantara
Ayah dan Ibu. Sakti lalu duduk bersila diantara Ayah dan Ibu sambil terus menggenggam
segelas susu hangat di atas pangkuannya.
Sakti menoleh ke kanan lalu bertanya, “Ibu yang
menaruh susu ini di kamarku?”
Ibu tetap tidur pulas dan tidak
menjawab.
Sakti menoleh ke kiri lalu bertanya, “Ayah yang menaruh susu ini di kamarku?”
Ayah pun tetap
tidur pulas dan tidak menjawab.
Sakti merasa sangat kesal lalu meminum
seteguk susunya. Dalam hati Sakti berharap
kedua orangtuanya bangun dan menjawab pertanyaannya. Seketika Ayah dan ibu membuka mata, lalu menatap Sakti yang duduk bersila sambil menggenggam segelas susu hangat di atas pangkuannya.
Sakti langsung riang melihat orang tuanya telah bangun. Sakti menolehkan
kepalanya ke kanan dan ke kiri sambil menggerakkan tubuhnya naik turun sampai
ranjang berdecit-decit, lalu kembali bertanya. Ayah dan Ibu menggelengkan kepala sembari menjawab “Bukan.”
“Lalu siapa yang menaruh susu di kamarku?”
Ayah dan Ibu menggelengkan kepala berbarengan.
Sakti kembali merasa kesal. Sakti meminum seteguk susu sambil
terus memantul-mantul di atas ranjang, berharap kedua orang tuanya bisa memberikan jawaban yang
memuaskan dirinya.
Ayah dan ibu memberikan tatapan kebingungan kepada satu sama
lain. Begitu kebingungannya, mereka sampai terlelap lagi.
Sakti berhenti memantul. Dengan kecewa, Sakti
berjinjit turun dari ranjang sambil merentangkan kedua tangannya, gelas susu di
tangan kanannya. Masih terus berjinjit, Sakti keluar dari kamar Ayah dan Ibu.
Sakti menyusuri
koridor rumahnya menuju ruang keluarga. Kesepian segera menggantikan
kekecewaan yang tadi mengusiknya.
Sakti teringat kucing kesayangannya yang
hilang sebulan lalu, Kuro namanya. Sakti meminum seteguk susu lalu bergelung di atas karpet empuk di tengah ruangan, berharap kucingnya yang hilang kembali
ke rumah.
Sakti mendengar
suara ketukan di jendela. Tap Tap Tap.
Sakti mengangkat kepalanya. Kuro, si kucing berbulu hitam pekat, berdiri
di ambang jendela. Kuro mengeong keras sembari dengan bersemangat
menggaruk-garuk kaca jendela, ekornya bergerak naik-turun.
Sakti membuka jendela, Kuro pun meloncat masuk.
Bersama Kuro, Sakti bermain tangkap bola
benang rajut hijau yang Ibu tinggalkan di samping sofa pink berenda favoritnya.
Setelah beberapa saat, bola benang rajut hijau itu mulai terurai dan menjadi
kusut. Walaupun begitu, Sakti dan Kuro tetap bermain dengan riang gembira.
Semakin kusut tak karuan benang itu, semakin menyenangkan permainan mereka.
Akan tetapi, ketika sedang melompat-lompat ringan diantara awutan benang, Kuro tak
sengaja mencakar Sakti di pergelangan
kaki kiri. Sengatan perih seketika memecahkan gelembung besar
kesenangan.
Dengan mata berair, Sakti meneguk susunya. Dia berharap
Kuro pergi dan tak bisa lagi menemukan jalan pulang. Kuro mengeong dan mendesis keras, dengan bulu berdiri di sekujur tubuhnya, dia
melompat keluar jendela. Saat itu terakhir kalinya Sakti melihat Kuro.
Sakti duduk memberengut di tengah karpet empuk, benang hijau kusut
menutupi sekujur tubuhnya. Sakti menangkup erat goresan di kaki kirinya dengan
telapak tangan kanannya, dia kembali merasa kesepian. Dia meneguk susunya lalu memejamkan mata erat, berharap suasana menjadi hingar-bingar.
Tiba-tiba alunan musik berdentum terdengar dari kejauhan, suara itu terdengar
semakin dekat dan keras. Bum Bum Bum.
Sakti berlari menuju jendela lalu melongokkan kepalanya keluar. Dari kejauhan dilihatnya
sekelompok pemusik, dilatarbelakangi bulan benderang dan bintang kerlap-kerlip,
berjalan mendekat sembari memainkan berbagai alat musik.
Mereka memakai pakaian cerah warna-warni dan dengan entengnya membopong
berbagai alat musik besar: gitar, cello, drum bass, simbal, tuba, keyboard, dan angklung. Para
pemusik jalanan lalu berhenti di depan rumah Sakti dan mulai melantunkan musik
ceria.
Sakti bertelanjang kaki melesat keluar rumah. Dengan benang hijau menutupi
sekujur tubuhnya dan segelas susu hangat di genggamannya, Sakti mulai bernyanyi dan menari menghentak-hentakan kaki sesuka hatinya bersama para pemusik
jalanan.
Suara musik dan nyanyian makin lama makin kencang, akan tetapi nampaknya,
tidak ada seorang pun, selain Sakti, yang menyadari pertunjukkan jalanan itu.
Sakti sepenuhnya menikmati pertunjukkan itu, untuk dirinya sendiri.
Sakti akhirnya kelelahan. Tenggorokannya perih, sehingga tidak mampu bernyanyi
lagi. Kakinya nyeri, sehingga tidak mampu menghentak lagi.
Sakti meminum teguk terakhir susu di genggamannya, berharap hari ini tidak
harus bersekolah dan bisa bersantai seharian.
Para pemusik jalanan melanjutkan perjalanan mereka.
Sempoyongan, Sakti berjalan kembali ke rumahnya, gelas susu di tangannya
kosong.
Sakti masuk ke kamarnya, meletakkan gelas susu kosong di samping tempat tidurnya,
menjatuhkan diri di atas kasur, lalu tertidur pulas.
Setelah sepertinya lama sekali, Sakti terbangun oleh usapan lembut di
keningnnya. Ketika Sakti membuka mata, dilihatnya Ibu duduk di sampingnya
sambil terus mengusap kepalanya. Sakti sudah merasa segar, tenggorokannya tidak
lagi perih, kakinya tidak lagi nyeri.
Ibu bertanya, “mau sarapan apa pagi ini?”
Merasa sudah cukup meminum susu seumur hidupnya, Sakti menjawab “Sup
hangat, tanpa susu.”
Ibu tersenyum lalu turun dari kasur untuk menyiapkan sarapan. Hari itu
adalah hari Minggu, Sakti bisa bersantai seharian.
***
No comments:
Post a Comment